CANDI DI INDONESIA

Gambar Peninggalan Sejarah Hindu-Buddha Di Indonesia

Candi Sari

Berdirinya Candi Sari memiliki keterkaitan erat dengan Candi Kalasan. Menurut arkeolog dari BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Yogyakarta, Candi Sari merupakan sebuah bangunan wihara atau asrama yang diperuntukkan bagi para pendeta, sementara Candi Kalasanadalah tempat pemujaannya. Sehingga dari segi lokasi, kedua candi ini relatif dekat. Candi Sari berada kurang lebih 0,5 km di sebelah timur laut Candi Kalasan, tepatnya di Dusun Bendan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman, DIY.
Bukti keterkaitan antara Candi Sari dengan Candi Kalasan, keduanya didirikan pada masa yang sama, yakni sekitar abad ke-8 M. Selain itu kedua candi ini sama-sama menggunakan teknik bajralepa untuk melapisi dinding candi. Bajralepa merupakan semacam semen pelapis yang dapat memperhalus permukaan dinding candi sekaligus mengawetkan batuannya agar tidak lekas aus. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kini lapisan bajralepa di Candi Sari juga sudah banyak yang lepas. Bahkan kondisi candinya pun tidak utuh lagi seperti aslinya. Candi ini mengalami pemugaran pertama kali yang selesai tahun 1930. Banyaknya batu candi yang hilang membuat pemugaran Candi Sari tidak bisa maksimal. Sebagian kaki atau selasar yang mengelilingi bangunan, bilik penampil yang menjorok keluar dari dinding depan dan beberapa stupa atap serta ukiran maupun hiasan terpaksa diganti batu polos.
Pintu masuk Candi Sari menghadap timur, dihiasi dengan kala dan pada bagian bawah dipahatkan orang sedang menunggang gajah. Di dalam tubuh candi terdapat tiga ruangan yang berjajar dan masing-masing dihubungkan dengan lubang pintu antara tembok pemisah. Tiap bilik berukuran lebar 3 m dan panjang 5,8 m terbagi menjadi bilik atas dan bawah. Diperkirakan pembagian bilik atas dengan bawah dulu menggunakan kayu, hal ini terlihat pada bagian dindingnya masih tampak lubang-lubang untuk meletakkan ujung balok. Bahkan pada dinding bilik selatan ada beberapa batu yang dipahat serong, suatu tanda yang menunjukkan pada tempat itu disandarkan tangga. Pada bagian bilik bawah masing-masing mempunyai relung di sisi utara dan selatan yang berhiaskan kala makara
lebih jelass lihat di candi Sari
Jam buka : Setiap hari pukul 09.00 – 17.00 WIB
Harga tiket masuk : Rp 2.000

Candi Loro jongrang


Terletak di sebuah dataran indah dihiasi dengan monumenarkeologi antara sawah dan desa-desa, Anda akan terkesan olehkompleks Candi Hindu Prambanan bahkan sebelum Anda masuk ke area Taman Wisata Candi Prambanan ini. Bangunan artistik yang menjulang tinggi ke angkasa seakan menyambut anda dari kejauhan 

Candi Prambanan adalah salah satu peninggalan arsitek keagamaan yang terbaik di Asia Tenggara dan diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 1991.

KOMPLEK CANDI PRAMBANAN
Jumlah candi dalam Kompleks Candi Prambanan begitu luar biasa, situs ini disusun dalam tiga kelompok 'bujursangkar' yang semakin keluar semakin banyak.


Bujursangkar pusat, terdapat 11 candi bermacam ukuran, yang terbesar candi Siwa (Shiva) yang menjulang tinggi hampir 50m. Diapit oleh dua candi untk menghormati Wishnu dan Brahma. Tiga candi lebih kecil duduk di depan candi terbesar, masing-masing didedikasikan untuk kendaraan ketiga dewa : Nandi, sapi, kendaraan Siwa; Hamsa, angsa suci, bagi Brahma; dan Garuda bagi Wishnu.

Bujursangkar kedua 'mengembang' secara simetris, terdapat 224 candi lebih kecil lagi yang sama satu dengan lainnya dan dikenal sebagai candi perwara yang berarti pengawal. Candi-candi ini disusun dengan memberikan jalur menuju bujursangkar pusat. Meskipun sebagian besar berupa reruntuhan, hanya beberapa yang direstorasi. Meskipun demikian tidak sulit untuk membayangkan kemegahan yang pernah ada.
Bujursangkat ketiga dan yang terakhir dipagari tembok pada beberrapa tempat, berada pada sumbu berbeda dari dua bujursangkar didalamnya dan tidak terdapat peninggalan bersejarah. Diduga, daerah ini menjadi tempat mempersiapkan persembahan dan tempat berdirinya bangunan tempat tinggal pendeta dan penginapan peziarah. Reruntuhan bangunan tidak tersisa lagi, karena menggunakan bahan bangunan yang tidak tahan lama.


Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan candi Budha, terletak di desa Borobudur kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Nama Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur berasal dari kata Beduhur yang berarti di atas, dengan demikian Borobudur berarti Biara di atas bukit. Sementara menurut sumber lain berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara sumber lainnya mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

Stupa Candi Borobudur ©2009 arie saksono
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. 
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
·         Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.
·         Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
·         Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
·         Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Salah satu relief pada Candi Borobudur ©2009 arie saksono
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
atau untuk lebih jelas lihat CANDI BOROBODUR

Candi kalasan
Untuk menemukan lokasi Candi Kalasan tidaklah sulit. Dari jalan raya Yogya – Solo, kurang lebih 14 km timur Yogya, bangunan candi di selatan jalan pasti sudah terlihat. Hanya perlu masuk gang kurang lebih 50 m, kita sudah memasuki kompleks candi yang secara administratif masuk dalam wilayah Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DIY ini.
Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 700 Çaka, diketahui latar belakang pendirian Candi Kalasan ini adalah permintaan para guru terhadap Maharaja Tejahpurana untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara. Sebagai suatu bentuk persembahan bagi sang dewi, tentunya desain candi berikut materialnya dirancang sebaik mungkin. Namun Candi Kalasan yang dibangun sekitar tahun 778 M ini juga tak luput dimakan usia. Kini, bangunan Candi Kalasan sudah tidak utuh lagi seperti semula meskipun candi ini pernah dipugar oleh seorang Belanda pada tahun 1927 – 1929. Walau demikian, beberapa keistimewaan Candi Kalasan dibandingkan candi lain sampai sekarang masih bisa kita saksikan. Di antaranya, dinding candi yang dilapisi bajralepa yakni semacam semen pelapis sisi luar bangunan yang memberi efek kuning keemasan pada diding candi. Berdasarkan analisis laboratorium unsur bajralepa terdiri dari pasir kwarsa (30%), kalsit (40%), kalkopirit (25%) serta lempung (5%). Selain itu di sisi timur Candi Kalasan, tepat berada di depan tangga masuk, kita bisa menjumpai papan batu langka yang bentuknya hampir setengah lingkaran. Batu monolit ini juga sering disebut batu bulan atau moonstone.
Pada setiap pintu masuk yang masih utuh, baik utara maupun selatan terdapat hiasan berupa kepala kala yang istimewa, yaitu pada bagian jengger terdapat kuncup-kuncup bunga, daun-daunan dan sulur-suluran. Pada rahang bagian atas terdapat hiasan singa di kanan kirinya, bagian atas dihiasi pohon dewata yang ada di kayangan, dan dipahatkan pula lukisan awan beserta penghuni kayangan memainkan bunyi-bunyian. Begitu pula dengan relung-relung lain dijumpai juga rangkaian kala dan makara. Pada tubuh candi bagian atas terdapat sebuah bangunan berbentuk kubus yang dianggap sebagai puncak Gunung Meru dan di sekitarnya terdapat stupa-stupa yang menggambarkan puncak suatu pegunungan.
 Untuk lebih lanjut lihat Candi Kalasan
Jam buka : 06.00 WIB – 18.00 WIB
Harga tiket masuk : Rp 2.000

Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang. Terletak sekitar dua kilometer tenggara ibu kota Kabupaten Magelang. Candi Mendut berdekatan dengan Candi Pawon serta Candi Borobudur. Tiga candi ini biasanya masuk jadi satu paket kunjungan wisata. Baik wisatawan domestik maupun dari manca negara. Banyak orang masih percaya, kekeramatan Candi Mendut memberi tuah. Bahkan dipercaya tuah itu berkhasiat pengobatan.
SEBAGAI candi Buddha yang monumental, setiap kali berlangsung peringatan Hari Raya Waisak, upacara dipusatkan di ketiga candi ini. “Ketika upacara Tri Suci Waisak berlangsung, prosesi dimulai dari candi ini lalu ke candi Pawon dan diteruskan menuju Borobudur,” kata Maryono (50), salah satu karyawan Dinas Purbakala.
Menurutnya, bangunan candi Mendut ditemukan 1836 dalam keadaan tertimbun semak belukar. Penggalian dan pembersihan terus dilakukan secara bertahap. Dan bersamaan dengan perbaikan candi Borobudur, 1908, berhasil disusun kembali sebagian atap candi. Beberapa stupa kecil juga dapat dipasang lagi.
“Para ahli memperkirakan candi tersebut dibangun pada abad ke-9 Masehi oleh Dinasti Syailendra,” jelas Maryono.
Keunikan Mendut dibanding candi-candi lain di Jawa bahkan di Indonesia, antara lain pada pintu masuknya yang menghadap ke barat laut. Sebab kebanyakan candi menghadap ke timur. Selain itu di bilik candi terdapat 3 arca dengan ukuran cukup besar. Masing-masing terbuat dari bongkahan batu utuh.
Tiga arca tersebut makin menguatkan kekaguman betapa hebat karya seni nenek-moyang bangsa Indonesia. Ketiga arca tersebut adalah Arca Dyani Buddha Cakyamuni, menghadap ke barat dalam posisi duduk. Kedua kakinya menyiku ke bawah pada landasan teratai. Kedua Arca Bodhisatva Avalokitesvara, menghadap ke selatan, juga posisi duduk dengan kaki kiri dilipat ke dalam sedang kaki kanan menjulur ke bawah. Dan yang ketiga adalah Arca Bodhisatva Vajrapani, menghadap ke utara, dengan posisi duduk pula. Kaki kanan dilipat dengan telapak kaki menyentuh paha sedang kaki kiri menjulur ke bawah. “Vajrapani dan Avalokitesvara disebut-sebut sebagai pengiring atau pengawal Buddha Cakyamuni,” tandas Maryono.


Lokasi:                                  Jawa Tengah
Arti nama:                           Dapur (Jawa), Perabuan (Casparis)
Nama lain:                           Brajanalan (api halilintar)
Tahun pembuatan:                Abad 8-9 M
Peninggalan:                         Dinasti Syailendra

Siapa yang belum pernah mendengar rangkaian tiga candi Buddha terkenal, Mendut-Pawon-Borobudur. Tentu hampir seluruh masyarakat sudah pernah mengunjungi atau hanya sekedar mendengar kesohoran ketiga candi ini. Candi Pawon memang lebih kecil dibandingkan Candi Borobudur maupun Mendut.  Namun bangunan ini sebenarnya memiliki keindahan yang tidak kalah menarik dengan kedua kakaknya.
Candi yang dikenal juga sebagai Candi Brajanalan ini terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tepatnya sekitar 1750 meter dari Candi Borobudur  ke arah timur dan 1150 meter kea rah barat dari Candi Mendut. Kata Brajanalan berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata ‘vajra’ yang berarti halilintar dan ‘anala’ yang berarti api. Menurut mitologi India, Dewa Indra memiliki sebuah senjata yang dinamai Vajranala dan senjata itulah yang disimpan di Candi Pawon.
Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran anyang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan.
Candi Pawon berada di atas teras. Sebelum menginjak ke atas teras kita harus melewati tangga yang agak lebar terlebih dahulu. Dinding-dinding candi dihiasi relief pohon kalpataru yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari. Banyak pakar berpendapat bahwa Candi Pawon merupakan bagian dari Candi Borobudur. Hal ini didasarkan pada relief-relief yang terdapat pada Candi Pawon yang merupakan permulaan relief Candi Borobudur.

Kata Gedong berarti bangunan dan songo berarti sembilan sehingga kurang lebih berarti candi yang berjumlah sembilan. Candi yang terletak di Gunung Ungaran dengan ketinggian 1200 – 1800 meter diatas permukaan laut ini memang sangat unik. Pada awalnya disebut Gedong Pitoe karena pertama kali ditemukan oleh Rafles hanya terdiri dari tujuh bangunan candi. Namun kemudian ditemukan dua candi lagi walaupun dalam keadaan tidak utuh. Candi-candi yang terbuat dari batu andesit tersebut telah dipugar oleh Dinas Purbakala, yaitu candi I & II dipugar tahun 1928 – 1929, sedangkan candi III, IV, V dipugar tahun 1977 – 1983.


Secara administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) dengan ketinggian kurang lebih 2088 m DPL dengan suhu rata-rata 13-17 C, berada di lokasi wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga. Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang-kadang masih menampakan aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik, yang berupa gas / uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan  dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga dataran tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan sejarah  yang menarik.
Dataran tinggi Dieng dianggap merupakan suatu  tempat yang memiliki kekuatan misterius sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap  suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berkaitan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi dan candi Puntadewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Tokoh siapa yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, dikarenakan  informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun.

Candi Kidal (tinggi 12,5 m, luas: 35 m2) terletak didesa Rejokidal sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur. Candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk Raja Anusanatha (Anusapati), pengganti Raja Rajasa Sang Amurwabhumi. Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan ditempatkan di ruang utama candi. Namun sekarang ini arca tersebut tidak berada pada tempatnya lagi.
Dari daftar buku pengunjung yan ada nampak bahwa Candi kidal tidaklah sepopuler temannya Candi Singosari, Jago atau Jawi. Hal ini karena Candi Kidal terletak jauh dipedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata. Lokasi candi ini sendiri berada dipinggir jalan utama desa, namun karena terletak menjorok agak ke dalam sehingga sulit dilihat sebelum benar-benar tepat berada di depan gerbang masuk kawasan candi.
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Ukuran tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi, sehingga menekankan kesan ramping. Atap candi terdiri atas tiga bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan . Konon katanya tiap pojok lapisan atap candi dulu tempat berlian kecil.

Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Hayam Wuruk disebutkan pernah melakukan kunjungan ziarah ke makam leluhurnya yakni Wisynuwardhana yang dicandikan di Jayaghu atau Jago.
Sekalipun Candi jago diketahui sebagai makam Maharaja Wisynuwardhana, namun jika dilihat dari bentuk arsitektur dan ragam hiasnya maka bangunan itu berasal dari zaman majapahit akhir. Pada tahun 1272 Saka atau 1350 Masehi, misalnya, candi itu pernah diperbaiki oleh Adityawarman. Dan sesudah itu, candi itu tampaknya mengalami beberapa kali pemugaran pada kurun akhir majapahit yakni pada pertengahan abad ke 15.
Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Candi Jago mirip sekali dengan bentuk punden berundak yang merupakan ciri bangunan religi dari zaman megalithikum yang mengalami kebangkitan kembali pada massa akhir majapahit. Badan candi terletak diatas kaki candi yang bertingkat tiga. Bangunan utama candi terletak agak kebelakang dan menduduki teras tinggi. Diduga pada bangunan utama itu diberi atap dari ijuk sebagaimana pura-pura di Bali. Bahkan dari sudut pandang aetiologi nama Desa Tumpang tempat dimana Candi Jago berada tentu berasal dari bentuk candi tersebut, sebab didalam bahasa Jawa kuno kata Tumpang memeliki arti "lapis, deretan bertingkat, bersusun, membangun dalam deretan bertingkat".

Arca Amoghapasa dewa tertinggi dalam agama Buddha Tantra yang memiliki tangan delapan adalah perwujudan dari Wisynuwarddhana sebagaimana disebut dalam Negarakertagama. Aca tersebut saat ini masih tersisa dihalaman candi tetapi kepalanya telah hilang.  Disamping Archa Amoghapasa terdapat arca Bhaiwara yang putus kepalanya dan beberapa arca kecil serta sisa-sisa bangunan candi yang berserak disekitar area candi. Sedang arca-arca lain yang pernah diperoleh dari area candi ini disimpan di Museum Jakarta.


Candi Singosari terletak didesa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) dengan pemberian nama/sebutan Candi Menara oleh orang Belanda.  Mungkin pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinidng dibagian tubuhnya. Juga menurut laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.
Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas. Didalam kompleks tersebut didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut Candi Singosari. Adapun arca-arcanya banyak yang dibawa ke Belanda, sedangkan arca-arca yang saat ini berada dihalaman Candi Singosari sekarang ini, berasal dari candi-candi yang sudah musnah itu.
Candi Panataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian yang terluas di kawasan Jawa Timur. Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563, merupakan bangunan kekunaan yang terdiri atas beberapa gugusan sehingga disebut Komplek Percandian. Lokasi bangunan candi ini terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari Kota Blitar atau kurang lebih setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Dengan jalan yang relatif mulus dan cukup lebar hingga di depan komplek candi.
Orang bijak mengatakan, "Sejarah adalah masa lalu, masa kini adalah waktu yang harus dijalani dan masa depan adalah misteri". Namun sejatinya kalau kita mau lebih arif lagi, ketiga masa tersebut adalah sebuah satu kesatuan yang saling terhubung dan mempengaruhi satu sama lain. Peninggalan-peninggalan purbakala yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara memberikan gambaran yang nyata betapa kayanya warisan budaya Bangsa Indonesia yang harus digali dan dijaga.

Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Propinsi Riau, sekitar 128 Km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat yaitu dari Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi bernuansa Buddhistis ini merupakan bukti bahwa agama Budha pernah berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nam tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu “Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besarr, Ku berarti tua, dan Se berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di muara sungai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar